Minggu, 20 Februari 2011

HUKUM TAQLID, DOA IFTITAH DAN SHALAWAT KHUTBAH JUM'AT

HUKUM TAQLID, DOA IFTITAH DAN SHALAWAT KHUTBAH JUM'AT
Penanya:
Nyakmat, Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah Kauman,
Pisang, Labuhan Haji, NAD
(disidangkan pada tanggal 13 Januari 2006)
Pertanyaan:
1. Pengertian taqlid, hukumnya serta beramal dengan taqlid
2. Apa benar orang yang selama hidupnya terus menerus membaca doa iftitah
“Allahumma baa‘id …” dianggap taqlid?
3. Kenapa bacaan shalawat dalam khutbah Jum‘at yang dimuat pada Majalah Suara
Muhammadiyah tidak sama dengan bacaan shalawat yang tertulis dalam HPT?
Jawaban:
1. Tentang Taqlid
a. Pengertian Taqlid
Kata “Taqlid” adalah kata dalam bahasa Arab, yang berasal dari kata تَق لِي دٌ
(taqlid), yaitu: ق ل دَ (qallada), يُقَلِّْدُ (yuqallidu), تَقْلِيْدًا (taqliidan). Artinya bermacammacam
tergantung kepada letak dan pemakaiannya dalam kalimat. Adakalanya
kata “taqlid” berarti “menghiasi”, “meniru”, “menyerahkan”, “mengikuti” dan
sebagainya.
Para ulama Ushul mendefinisikan taqlid: “menerima perkataan (pendapat)
orang, padahal engkau tidak mengetahui darimana sumber atau dasar perkataan
(pendapat) itu”. Para ulama yang lain seperti alGhazali,
asySyaukani,
ashShan‘
ani dan ulama yang lain juga membuat definisi taqlid, namun isi dan
maksudnya sama dengan definisi yang dibuat oleh ulama Ushul, sekalipun
kalimatnya berbeda. Demikian pula dengan definisi yang dibuat oleh Muhammad
Rasyid Ridla dalam Tafsir alManar,
yaitu: “mengikuti pendapat orangorang
yang dianggap terhormat atau orang yang dipercayai tentang suatu hukum agama
Islam tanpa meneliti lebih dahulu benar salahnya, baik buruknya serta manfaat
atau mudlarat dari hukum itu”.
Dalam menjalani dan menempuh kehidupan dunia ini Allah Swt
memberikan petunjuk kepada manusia yang termuat dalam alQur’an
dan Sunnah
Rasulullah saw. Orang yang mengikuti petunjuk Allah dan RasulNya
adalah
orangorang
yang beriman, sedang orang yang tidak mengikuti petunjuk Allah
dan RasulNya
adalah orangorang
yang kafir. Allah Swt berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا أَطِيْعُوْا اللهَ وَأَطِيْعُوْا ا ل رَّسُولَ و لاَ ت بْ طِلُ وْا أَعْمَالَكُ مْ.
.[ 33 :( [ محمد ( 47
Artinya: “Hai orangorang
yang beriman, ta'atlah kepada Allah dan
ta'atlah kepada rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amalamalmu.”
[Muhammad (47): 33].
2
قُلْ أَطِيْعُوْا اللهَ وَأَطِيْعُوْا ا لر سُولَ فَإِنْ تَ وَلَّو ا فَإِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْكَافِرِيْن . [آل
.[ 32 :( عمران ( 3
Artinya: “Katakanlah: Ta'atilah Allah dan RasulNya;
jika kamu berpaling,
maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orangorang
kafir.” [Ali 'Imran (3):
32].
.[ 1 :( وَأَطِيْعُوْا اللهَ وَر سُولَهُ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْ نَ. [الأنفال ( 8
Artinya: “… dan ta'atlah kepada Allah dan RasulNya
jika kamu adalah
orangorang
yang beriman.” [alAnfal
(8): 1].
Taat kepada Allah ialah mengikuti petunjukpetunjukNya
yang termuat
dalam alQur’an
dan taat kepada RasulNya
ialah mengikuti petunjuk Nabi
Muhammad saw, berupa perkataan, perbuatan dan taqrirnya yang diyakini berasal
dari beliau, yang disebut “Sunnah Maqbulah”. Kenapa Majelis Tarjih dan Tajdid
menggunakan “sunnah maqbulah”?
Sebagaimana diketahui bahwa perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi
Muhammad saw (asSunnah),
baru ditulis dan dibukukan setelah lebih dari seratus
tahun beliau meninggal dunia. Selama seratus tahun lebih itu asSunnah
berada
dalam hafalan kaum muslimin yaitu para sahabat, tabi‘in, tabi‘it tabi‘in dan atba‘
attabi‘
it tabi‘in. AsSunnah
yang dihafal oleh sahabat disampaikan kepada tabi‘in
dan mereka menghafalnya, demikian pula para tabi‘in menyampaikan kepada
tabi‘it tabi‘in, kemudian kepada atba‘ attabi‘
it tabi‘in dan yang terakhir diterima
oleh para perawi hadits dan membukukannya. Para perawi itu sebelum
membukukannya meneliti setiap para penyampai dan penerima asSunnah
itu.
Setelah diteliti ternyata ada para penyampai dan penerima asSunnah
itu yang
dapat dipercaya dan ada yang tidak dapat dipercaya, ada yang kuat atau baik
hafalannya dan ada pula yang lemah dan sebagainya. Lalu para perawi membuat
ranking asSunnah,
sehingga asSunnah
itu bertingkattingkat,
ada yang shahih,
ada yang hasan, ada yang dla‘if dan sebagainya. Pada umumnya para ulama tidak
menerima sunnah yang dla‘if (lemah), kecuali asySyafi‘
i yang menggunakannya
untuk fadla’ilul a‘mal (amalanamalan
utama). Majelis Tarjih dan Tajdid pada
umumnya menerima asSunnah
yang shahih dan hasan dengan syarat tidak
berlawanan dengan nash (alQur’an
dan asSunnah)
yang lebih kuat daripadanya.
AsSunnah
yang seperti ini disebut “sunnah maqbulah”.
Berdasarkan uraian di atas maka taqlid menurut Majelis Tarjih dan Tajdid
ialah: “mengikuti perkataan atau pendapat orang (seperti ulama, syekh, kiyai atau
pemimpin) tentang suatu hukum Islam tanpa meneliti lebih dahulu apakah
perkataan atau pendapat itu ada dasarnya atau tidak dalam alQur’an
dan sunnah
maqbulah”. Jika ada dasarnya maka perkataan dan pendapat itu dapat diterima
dan diamalkan, sebaliknya jika tidak ada dasarnya, sedang yang mengatakan atau
yang berpendapat tetap mengatakan bahwa itu adalah ajaran Islam, maka
pendapat yang demikian termasuk bid‘ah. Orang yang berbuat bid‘ah adalah
orang yang telah menyediakan semasa ia hidup tempat duduk dalam neraka nanti.
Hal ini berdasarkan:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَم دًا
فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّار . [ رواه البخاري ومسلم].
3
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Nabi saw beliau bersabda:
Barangsiapa yang berdusta atasku, maka hendaklah ia menyediakan tempat
duduknya dalam neraka.” [HR. alBukhari
dan Muslim].
Pada saat ini banyak terdapat di Indonesia perguruan Tinggi Islam, baik
pemerintah maupun swasta, seperti UIN, STAIN dan sebagainya, sehingga
tidaklah sukar untuk menentukan apakah pendapat seseorang itu ada dasarnya
atau tidak ada dasarnya, dengan mengadakan pembahasan mendalam pada suatu
seminar atau diskusi. Dengan demikian taqlid dan bid‘ah itu semakin berkurang
terdapat dalam nasyarakat Islam. Demikian pula para ustadz, para kiyai, para da‘i
hendaknya menyampaikan kepada masyarakat yang berhubungan dengan ajaran
Islam, yang benarbenar
ada dasarnya.
b. Hukum Taqlid
Dari ayat alQur’an
dan Sunnah Maqbulah di atas dapat diambil kesimpulan
bahwa taqlid itu tercela hukumnya. Bagi orang yang belum tahu apaapa
tentang
ajaran Islam, dan kaum muslimin yang belum sanggup mencari dasar suatu
hukum yang disampaikan kepadanya, maka hal itu bukanlah taqlid, dan hendaklah
ia menanyakan kepada orang yang lebih tahu.
2. Tentang hukum membaca doa Iftitah: “Allahumma baa‘id …”
Sampai saat ini Majelis Tarjih dan Tajdid belum menemukan ayat alQur’an
atau Sunnah Maqbulah yang menyatakan bahwa orang yang terus membaca
“Allahumma baa‘id …” dalam selama hidupnya dianggap telah melakukan bid’ah.
Karena itu mungkin sebaliknya bahwa orang yang mengatakan demikianlah yang
telah berbuat bid’ah. Menurut hasil penelitian kami bahwa ada dua macam doa iftitah
yang diajarkan Rasulullah saw yang dibaca setelah takbiratul ihram pada setiap
mengerjakan shalat, dengan arti bahwa salah satu dari dua doa iftitah itu boleh dibaca
dalam shalat. Kedua doa itu ialah “Allahumma baa‘id …” dan “Wajjahtu wajhiya …”.
Doa iftitah “Allahumma baa‘id …” berdasarkan:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَبَّرَ فِي الصَّلاَةِ
سَكَتَ هُ نَيْمَةً قَبْلَ يَقْرَأُ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ بِأَبِى أَنْتَ وَأُمِّى أَرَأَيْتَ سُكُوْتَكَ بَيْنَ
التَّكْبِيْرِ وَالقِرَاءَةِ مَا تَقُوْلُ قَالَ أَقُوْلُ اللَهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِى وَبَيْنَ خَطَايَاىَ كَمَا بَاعَدْتَ
بَيْنَ المَشْرِقِ وَالمَغْرِبِ الل هُمَّ نَقِّنِى مِنَ اْلخَطَايَا كَمَا يُنَقِّى الثَّوبُ الاَبْيَضُ مِنَ
الدَّنَسِ اللَهُمَّ اغْسِلْ خَطَايَاىَ بِالمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالبَرَد . [ رواه البخارى ومسلم
وأصحاب السنن إلا الترمذى ].
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, adalah Rasulullah saw setelah
mengucapkan takbiratul ihram dalam shalat diam sebentar sebelum membaca alFatihah.
Lalu aku bertanya: Ya Rasulullah, Demi bapakku, engkau dan ibuku, apa
yang engkau baca ketika engkau diam antara takbiratul ihram dan membaca alFatihah?
Rasulullah saw menjawab: Aku membaca:
اللَهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِى وَبَيْنَ خَطَايَاىَ كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ المَشْرِقِ وَالمَغْرِبِ اللَهُمَّ نَقِّنِى مِنَ
اْلخَطَايَا كَمَا يُنَقِّى الثَّوبُ الاَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ اللَهُمَّ اغْسِلْ خَطَايَاىَ بِالمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالبَرَد .
Artinya: Ya Allah, jauhkanlah antaraku dan antara segala kesalahanku sebagaimana
Kau telah jauhkan antara Timur dan Barat. Ya Allah, bersihkanlah aku dari
4
kesalahan sebagaimana dibersihkannya pakaian putih dari kotoran. Ya Allah, cucilah
segala kesalahanku dengan air, salju dan air hujan beku.” [HR. alBukhari,
Muslim
dan penyusun Kitabkitab
Sunan kecuali atTirmudzi].
Doa iftitah “Wajjahtu wajhiya …” berdasarkan:
عَنْ عَلِيٍّ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ كَبَّرَ ثُمَّ
قَالَ وَجَّهْتُ وَجْهِىَ لِلَّذِى فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَ الاَرْضَ حَنِيفًا مُسْلِمًا وَمَا اَنَا مِنَ
المُشْرَكِيْن اِنَّ صَلاَتِى وَنُسُكِى وَمَحْيَاىَ وَمَمَاتِى للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ لاَشَرِيْكَ لَهُ
وَبِذَالِكَ ا مِرْتُ وَاَنَا مِنَ المُسْلِمِيْنَ اللَهُمَّ اَنْتَ المَلِكُ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اَنْتَ اَنْتَ رَبِّى
وَاَنَا عَبْدُكَ ظَلَمْتُ نَفْسِى وَاعْتَرَفْتُ بِذَنْبِى فَاغْفِرْلِى ذُنُوبِى جَمِيْعًا لاَيَغْفِرُ
الذَُنُوبَ اِلاَّ اَنْتَ وَاهْدِنِى لِاَحْسَنِ ا لأ خ لاَقِ لاَيَهْدِى لِاَحْسَنِهَا اِلاَّ اَنْتَ وَاصْرِفْ
عَنِّى سَيِّئَهَا لاَ ي صْرِفْ عَنِّى سَيِّئَهَا اِلاَّ اَنْتَ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيكَ وَالخَيْرُ كُلُّهُ فِى
يَدَيكَ وَالشَّرُّ لَيْسَ اِلَيْكَ اَن ا بِكَ وَاِلَيكَ تَبَارَكْتَ وَتَعَالَيْتَ اَسْتَغْفِر كَ وَاَتَوبُ اِلَيك .
[رواه أحمد ومسلم والترمذى وأبو داود وغيرهم ].
Artinya: “Diriwayatkan dari Ali, ia berkata: Rasulullah saw apabila berdiri
untuk shalat lalu bertakbiratul ihram, kemudian mengucapkan:
وَجَّهْتُ وَجْهِىَ لِلَّذِى فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَ الاَرْضَ حَنِيفًا مُسْلِمًا وَمَا اَنَا مِنَ المُشْرَكِيْن اِنَّ
صَلاَتِى وَنُسُكِى وَمَحْيَاىَ وَمَمَاتِى للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ لاَشَرِيْكَ لَهُ وَبِذَالِكَ اُمِرْتُ وَاَنَا مِنَ
المُسْلِمِيْنَ اللَهُمَّ اَنْتَ المَلِكُ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اَنْتَ اَنْتَ رَبِّى وَاَنَا عَبْدُكَ ظَلَمْتُ نَفْسِى وَاعْتَرَفْتُ
بِذَنْبِى فَاغْفِرْلِى ذُنُوبِى جَمِيْعًا لاَيَغْفِرُ الذَُنُوبَ اِلاَّ اَنْتَ وَاهْدِنِى لِاَحْسَنِ اْلأَخْلاَقِ لاَيَهْدِى
لِاَحْسَنِهَا اِلاَّ اَنْتَ وَاصْرِفْ عَنِّى سَيِّئَهَا لاَ يَصْرِفْ عَنِّى سَيِّئَهَا اِلاَّ اَنْتَ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيكَ
وَالخَيْرُ كُلُّهُ فِى يَدَيكَ وَالشَّرُّ لَيْسَ اِلَيْكَ اَنَا بِكَ وَاِلَيكَ تَبَارَكْتَ وَتَعَالَيْتَ اَسْتَغْفِرُكَ وَاَتَوبُ
اِلَيك .
Artinya: Aku hadapkan wajahku kepada Yang menciptakan langit dan bumi dengan
tunduk dan menyerahkan diri dan tiadalah aku termasuk golongan orangorang
musyrik. Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, matiku untuk Tuhan semesta
alam. Tidak ada sekutu bagiNya
dan sebab demikian itu aku diperintah dan aku
termasuk orangorang
yang menyerahkan diri (kepadaNya).
Wahai Allah, hanya
Engkaulah Tuhanku, tiada Tuhan selain Engkau, hanya Engkau Tuhanku sedang aku
adalah hambaMu,
aku telah menganiaya diriku sendiri dan aku akui dosadosaku,
karena itu ampunilah seluruh dosaku, sesungguhnya hanya Engkau sajalah yang
mengampuni dosa, bimbinglah aku kepada akhlaq yang baik, hanya Engkaulah yang
dapat membimbingku kepada akhlaq yang baik, jauhkanlah aku dari akhlaq yang
buruk dan hanya Engkaulah yang dapat menjauhkan aku dari akhlaq yang buruk itu.
Aku penuhi panggilanMu
dan aku gembira dengan memenuhi perintahMu,
semua
kebaikan berada dalam kekuasaanMu,
sedangkan kejahatan itu tidak dapat
(mendekatkan diri) kepada Engkau, aku hanya dapat hidup denganMu
dan hanya
akan kembali kepadaMu.
Maha Berkah Engkau dan Maha Tinggi, aku mohon ampun
kepada Engkau dan aku mohon taubat kepada Engkau” [HR. Ahmad, Muslim, atTirmudzi,
Abu Dawud dan lainlain].
5
Sekalipun kedua doa iftitah itu boleh dibaca salah satunya dalam shalat, namun
ada yang perlu direnungkan dan dipertimbangkan dalam mengamalkannya, yaitu:
a. Dasar dari kedua doa iftitah itu adalah Sunnah Maqbulah, karenanya Majelis
Tarjih dan Tajdid memberikan kewenangan kepada kaum muslimin untuk
memilih doa mana yang akan mereka baca, atau mereka boleh membaca
keduanya secara bergantian.
b. Doa iftitah “Allahumma baa‘id …” lebih pendek dibanding doa iftitah “Wajjahtu
wajhiya …”. Doa iftitah “Allahumma baa‘id …” dimulai dengan kalimat
“Allahumma baa‘id ” dan diakhiri dengan “bilma'i
watstsalji
walbarad”,
sedang doa iftitah “Wajjahtu wajhiya …” dimulai dengan kalimat “Wajjahtu
wajhiya” dan diakhiri dengan kalimat “astaghfiruka wa atuubu ilaik”.
c. Jika ingin mengikuti sunnah Rasulullah saw, tentu kita harus membaca doa iftitah
itu secara lengkap, tidak setengahsetengah.
d. Sekalipun kedua doa iftitah itu berdasarkan Sunnah Maqbulah, jika ditinjau dari
segi perawi, maka doa iftitah “Allahumma baa‘id …” lebih kuat daripada doa
iftitah “Wajjahtu wajhiya …”, karena doa iftitah “Allahumma baa‘id …”
diriwayatkan oleh alBukhari,
Muslim, anNasa’i,
Abu Dawud dan Ibnu Majah,
sedangkan doa iftitah “Wajjahtu wajhiya …” diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim,
atTirmudzi,
Abu Dawud dan yang lain.
Selanjutnya kami serahkan kepada penanya untuk menetapkan pendapatnya
berdasarkan keterangan di atas.
3. Tentang bacaan shalawat dalam Khutbah Shalat Jum’at
Allah Swt menyuruh kaum muslimin agar selalu membaca shalawat untuk Nabi
Muhammad saw agar beliau selalu diberi rahmat oleh Allah Swt, berdasarkan firmanNya:
إِنَّ اللهَ وَمَ لاَئِكَتَهُ يُصَلُّو نَ عَلَى النَّبِيِّ يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا صَلُّوأ عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا
.[ 56 :( تَسْلِيْمًا . [الأحزاب ( 33
Artinya: “Sesungguhnya Allah dan malaikatmalaikatNya
bershalawat untuk
Nabi. Hai orangorang
yang beriman bershalawatlah kamu untuk Nabi dan
ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” [QS. alAhzab
(33): 56].
Perintah yang terkandung pada ayat di atas adalah umum, dengan arti tidak
diterangkan kapan membacanya, apa lafadznya. Karena itu kaum muslimin
membacanya kapan mereka inginkan dan mengutamakan membacanya dalam
melaksanakan ibadah, seperti dalam khutbah Jum’at. Demikian pula halnya dengan
lafadz yang akan dibaca, kaum muslimin ada yang menyusunnya sendiri, namun isi
dari lafadz itu hendaklah memanjatkan doa untuk Rasulullah sebagaimana yang
dimaksud oleh ayat di atas.
Mengenai bacaan shalawat dalam shalat memang Rasulullah saw memberikan
tuntunannya, berdasarkan hadits:
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِى لَيْلَى قَالَ لَقِبَنِي كَعْبُ بْنُ عُجْرَةَ فَقَالَ أَلاَ أُهْدِى لَكَ
هَدِيَّةً سَمِعْتُهَا مِنَ النَّبِيِّ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ بَلَى فَأَهْدِهَا لِى فَقَالَ سَأَلْنَا
رَسُوْلَ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْنَا يَا رَسُوْلَ اللهِ كَيْفَ الصَّلاَةُ عَلَيْكُمْ أَهْلُ
6
الْبَيْتِ فَإِنَّ اللهَ قَدْ عَلَّمَنَا كَيْفَ نُسَلِّمُ عَلَيْكُمْ قَالَ قُوْلُوْا اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ
عَلَى آ لِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى اِ بْرَاهِيمَ وَ عَلَى آ لِ اِبْرَاهِيمَ اِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آ لِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى اِبْرَاهِيمَ اِنَّكَ حَمِيدٌ
مَجِي دٌ. [رواه البخارى ومسلم ].
Artinya: “Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Abi Laila, ia berkata: Aku
bertemu dengan Ka’ab bin ‘Ujrah, ia berkata: Maukah engkau aku beri hadiah yang
aku dengar dari Nabi saw? Aku berkata: Baiklah, berikanlah kepadaku. Maka ia
berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah saw: Ya Rasulullah, bagaimana bacaan
shalawat atasmu Ahlul Bait? Maka sesungguhnya Allah telah mengajarkan kepada
kami bagaimana mengucapkan salam atasmu. Beliau berkata: Katakanlah:
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آ لِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى اِبْرَاهِيمَ وَ عَلَى آ لِ
اِبْرَاهِيمَ اِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى اَلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ
عَلَى اِبْرَاهِيمَ اِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيد .
Artinya: Ya Allah, limpahkanlah rahmatMu
atas Muhammad dan atas keluarganya,
sebagaimana Engkau telah melimpahkan rahmat atas Ibrahim dan atas keluarganya.
Sungguh Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia. Ya Allah limpahkanlah berkahMu
atas Muhammad dan atas keluarga Muhammad sebagaimana yang telah Engkau
limpahkan atas Ibrahim dan keluarganya, sungguh Engkau Maha Terpuji dan Maha
Mulia.” [HR. alBukhari
dan Muslim].
Pada sunnah maqbulah yang lain, setelah kalimat “wa ‘alaa aali Ibraahiim”
tidak terdapat kalimat “innaka hamiidun majiid”, langsung disebut kalimat
“Allaahumma baarik ‘alaa Muhammad …” sampai akhir. Hal ini berarti kedua lafadz
shalawat itu boleh dibaca dalam shalat.
Tentu saja membaca shalawat atas Nabi saw di luar shalat seperti yang telah
diajarkannya itu adalah lebih baik, sedang bacaan shalawat dalam khutbah Jum’at
tidak diharuskan seperti bacaan shalawat dalam shalat. Namun yang paling baik
dibaca adalah seperti bacaan shalawat dalam shalat.
Wallahu a‘lam bishshawab.
*km)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar