Minggu, 20 Februari 2011

MENYIKAPI UNDANGAN TAHLILAN

MENYIKAPI UNDANGAN TAHLILAN
Pertanyaan Dari:
Siswo S., Mojokerto, Jawa Timur
(disidangkan pada Jum’at, 19 Ramadan 1429 H / 19 September 2008 M)
Pertanyaan:
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Sebagai warga yang hidup dan berada di lingkungan yang mayoritas masih
kental dengan nuansa tradisitradisi
yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, pada
kesempatan ini saya ingin menanyakan yang ada kaitannya dengan halhal
tersebut
khususnya mengenai selamatan tahlilan orang yang meninggal.
Biasanya kalau ada warga yang meninggal, pada waktu selesai upacara
pemakaman disampaikan kepada hadirin, bahwa ada tahlilan sampai dengan hari ke7.
Sedang untuk hari ke7
dan ke40
ada undangan tertulis untuk menghadiri
selamatan tahlilan.
Pertanyaannya:
1. Bagaimanakah kita menyikapi hal tersebut, khususnya yang memakai undangan?
2. Jika kami datang untuk menghormati yang mengundang, apakah kami juga ikut
membaca / mengikuti upacara tersebut ataukah cukup diam dan mendengarkan?
3. Apa yang harus kita lakukan bila ada salah satu keluarga yang meninggal, karena
mengingat mayoritas lingkungan / kompleks masih kuat melaksanakan tradisi
tahlilan tersebut?
Jawaban:
Pertanyaan tentang selamatan tahlilan orang yang meninggal sudah beberapa
kali ditanyakan di Majalah Suara Muhammadiyah. Di antara jawaban yang diberikan
telah dimuat dalam buku Tanya Jawab Agama II halaman 196 dan 197. Namun
untuk menjawab ketiga pertanyaan di atas, perlu kami jelaskan sebagai berikut.
Tradisi selamatan 7 hari, 40 hari, 100 hari maupun 1000 hari untuk orang yang
meninggal dunia, sesungguhnya merupakan tradisi agama Hindu dan tidak ada
sumbernya dari ajaran Islam. Adapun tahlil, secara harfiah mengandung arti
membaca kalimat la ilaha illallah atau mengingat Allah. Tahlil dalam konteks ini,
tentu merupakan amalan utama yang sangat dianjurkan oleh alQur'an
maupun asSunnah.
Adapun keberadaan tahlil orang yang meninggal dunia pada dasarnya tidak
bisa dilepaskan dari tradisi tarekat. Tahlil memiliki fungsi yang sangat sentral bagi
pengikut tarekat, sehingga terdapat gerakgerak
tertentu disertai pengaturan nafas
untuk melafalkan bacaan tahlil sebagai bagian dari metode mendekatkan diri pada
Allah. Berawal dari tradisi tarekat ini berkembanglah modelmodel
tahlil atau
tahlilan di kalangan umat Islam Indonesia. Di lingkungan Keraton terdapat tahlil
rutin, yaitu tahlil yang diselenggarakan setiap malam Jum'at dan Selasa Legi; tahlil
hajatan, yaitu tahlil yang diselenggarakan jika keraton mempunyai hajathajat
tertentu seperti tahlil pada saat penobatan raja, labuhan, hajat perkawinan, kelahiran
dan lainnya. Di masyarakat umum juga berkembang bentukbentuk
tahlil dan salah
satunya adalah tahlil untuk orang yang meninggal dunia.
Masalah tahlilan orang yang meninggal dunia merupakan masalah khilafiyah
(terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama). Di kalangan para pendukung
gerakan Islam pembaharu (tajdid) yang berorientasi kepada pemurnian ajaran Islam,
seperti Muhammadiyah, sepakat memandang tahlilan orang yang meninggal dunia
sebagai bid'ah yang harus ditinggalkan karena tidak ada tuntunannya dari Rasulullah.
Adapun para pendukung gerakan Islam tradisional maupun gerakan tarekat,
cenderung membolehkan dan bahkan menganjurkan tahlilan bagi orang yang
meninggal dunia.
Esensi pokok tahlilan orang yang meninggal dunia sebagai perbuatan bid'ah
bukan terletak pada membaca kalimat la ilaha illallah, melainkan pada hal pokok
yang menyertai tahlil, yaitu ; (1). Mengirimkan bacaan ayatayat
alQur'an
kepada
jenazah atau hadiah pahala kepada orang yang meninggal, (2). Bacaan tahlil yang
memakai pola tertentu dan dikaitkan dengan peristiwa tertentu.
Terdapat beberapa argumentasi untuk menolak praktik tahlilan. Pertama,
bahwa mengirim hadiah pahala untuk orang yang sudah meninggal dunia tidak ada
tuntunannya dari ayatayat
alQur'an
maupun hadis Rasul. Ketika tidak ada
tuntunannya, maka yang harus dipegangi adalah sabda Rasulullah yang berbunyi :
عن  عائِ  شةَ َأنَّ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ علَيهِ وسلَّم قَالَ من  عمِلَ  عملاً َليس علَيهِ
َأ  م رنا فَ  ه  و  ر د. [ رواه مسلم وأحمد ]
Artinya : “Barangsiapa yang mengerjakan suatu perbuatan (agama) yang tidak ada
perintahku untuk melakukannya, maka perbuatan itu tertolak.” [HR. Muslim dan
Ahmad]
Bahkan hadis Rasul menegaskan:
عن َأبِي  هريرةَ َأنَّ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ علَيهِ وسلَّم قَالَ إَِذا مات ْالإِن  سانُ انقَطَع
عنه  عمُله إِلاَّ مِن ثَلاَ َثةٍ إِلاَّ مِن  صدقَةٍ  جارِيةٍ َأو عِْلمٍ ينتفَع بِهِ َأو وَلدٍ صالِحٍ يدعو
َل ه. [ رواه مسلم ]
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
Apabila manusia telah mati, maka putuslah segala amalnya kecuali tiga perkara:
sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat baginya, dan anak saleh yang
mendoakannya.” [HR. Muslim]
Kedua, terdapat ayatayat
alQur'an
yang menegaskan bahwa manusia hanya akan
mendapatkan apa yang telah dikerjakannya sendiri. Dengan demikian masalah
hadiah pahala jelas bukan merupakan suatu tuntunan yang perlu dilaksanakan.
Adapun ayatayat
tersebut adalah :
1. Di dalam surat anNajm
(53): 39 Allah SWT berfirman:
[39 :(5 وَأ ْ ن َلي  س لِْلإِن  سانِ إِلاَّ ما سع ى. [النجم ( 3
Artinya: “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang
telah diusahakannya.” [QS. anNajm
(53): 39]
2. Surat athThur
(52): 21 menegaskan:
وما أََلتنا  هم مِن  عملِهِم مِن ش  يءٍ كُلُّ ا  مرِئٍ بِ  ما كَسب رهِ ين. [الطور
[2 1 :(5 2 )
Artinya: “Dan Kami (Allah) tiada mengurangi sedikit pun dari pahala amal
mereka, tiaptiap
manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” [QS. athThur
(52): 21]
3. Surat alBaqarah
(2): 286 menegaskan:
لاَ يكَلِّف اللهُ نفْ  سا إِلاَّ وسع  ها َل  ها ما كَسبت وعلَي  ها ما اكْتسب ت. [البقرة
[2 86 :(2 )
Artinya: “Allah tidak akan membebani seseorang kecuali dengan
kesanggupannya; ia mendapat (pahala dan kebajikan) yang
diusahakan/dikerjakannya; dan ia mendapat (siksa/dosa dari kejahatan) yang
diusahakan/dikerjakannya.” [QS. alBaqarah
(2): 286]
4. Surat alAn'am
(6): 164 menegaskan:
:( ولاَ تكْسِب كُلُّ نفْسٍ إِلاَّ علَي  ها ولاَ تزِر  وازِرةٌ وِزر ُأ  خر ى. [الأنعام ( 6
[1 64
Artinya: “Dan tidaklah seseorang membuat dosa melainkan kemudaratannya
kembali kepada dirinya sendiri; dan seseorang yang berdosa tidak akan memikul
dosa orang lain.” [QS. alAn’am
(6): 164]
Terhadap pertanyaan bapak yang pertama, tentang bagaimana menyikapi
undangan tahlilan kematian, maka bisa saja bapak minta ijin untuk tidak ikut tahlilan
dengan alasan paham agama bapak tidak membolehkan tahlilan untuk kematian.
Secara organisatoris, sikap ini merupakan sikap yang paling ideal, yaitu tunduk pada
paham agama yang diyakini oleh Muhammadiyah. Jika hal di atas tidak mungkin
dilakukan dan harus menghadiri tahlilan untuk menghormati yang mengundang
(menjawab pertanyaan kedua), maka hendaklah bapak bersikap pasif. Terhadap
pertanyaan ketiga, ketika mayoritas lingkungan masyarakat masih kuat
melaksanakan tradisi tahlilan, maka kedua sikap di atas bisa dipilih. Tentu bapak
lebih tahu tentang kondisi lingkungan di mana bapak berdomisili.
Wallahu a'lam bishshawab.
*mas)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar